Malu Bertanya, Capek di Jalan

Bahasa Indonesia:

Sudah nyasar, harus puter balik, terus ngulang lagi.

Kalau tidak mengeluh sih sebetulnya tidak apa-apa juga. Yang bikin pusing, komplennya segudang. Padahal sebetulnya bisa diatasi dengan bertanya dari awal. The art of giving questions ini juga sebetulnya bisa dipakai di dalam semua hal, termasuk world-view kita. Makanya orang-orang yang paling deep selama sejarah manusia, mereka yang berani bertanya “Siapakah aku?” “Kenapa aku ada di dunia?”.

Kalau dari hal-hal yang praktis dan sehari-hari tentunya juga banyak yang bisa dilakukan dengan bertanya. Mungkin jualan, bisnis atau mungkin negosiasi. Dalam konteks kalau kita mengaku sebagai entrepreneur yang akan memulai suatu projek, kualitas pertanyaan kita juga bakal menentukan rasa haus kita, kualitas hasil dan kepuasan pelanggan. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Kenapa yah kita harus melakukan strategi A, B, C”, “apa yah yang mau kita capai dengan mengerjakan projek ini?”, “Siapa yah yang bisa kita bantu dengan ide-ide ini?”.

Selain berbicara dan mendengarkan, bertanya memang jadi hal lain yang harus dipertimbangkan, walau sering terlupakan. Apalagi di kultur lokal kita di Indonesia yang punya tendensi menyingkirkan mereka yang berani bertanya.

Judul tulisan ini berasal dari pepatah lama di Indoneisa: Malu Bertanya, Sesat di Jalan. Pepatah lama yang kita sering dengar, tapi praktiknya sering kali terlupakan. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga, kalau banyak yang tidak tahu pertanyaan apa yang harus ditanyakan. Seandainya bertanya pun, kualitas pertanyaannya bisa dipertanyakan.

Banyak yang juga tidak tahu, pertanyaan apa yang harus ditanyakan. Seandainya bertanya pun, kualitas pertanyaannya bisa dipertanyakan.

Bertanya itu penting
Waktu berkomunikasi di organisasi, baik sebagai profesional atau entrepreneur. Bertanya bisa menjadi kuncian baik saat kita di posisi komunikator atau komunikan. Bertanya pada saat kita menjelaskan sesuatu bisa digunakan untuk cek dan ricek apakah lawan bicara kita sudah mengerti maksud dari pembicaraannya. Bertanya secara tepat pada saat kita menjadi pendengar membuktikan bahwa kita mengerti dan bisa merespons isi pembicaraan. It’s a sign of respect.

Pertanyaannya, seberapa sering kita mengajukan pertanyaan berkualitas yang benar, di saat yang tepat? Apakah kita cukup punya keberanian untuk mempertanyakan keputusan kita sendiri, ataukah keputusan kita hanyalah shortcut dari semua masalah yang terjadi. Kita sibuk mencari jawaban, tanpa tahu pertanyaan apa yang perlu kita tanyakan, baik kepada diri sendiri juga kepada orang lain.

Kita sibuk mencari jawaban, tanpa tahu pertanyaan apa yang perlu kita tanyakan, baik kepada diri sendiri juga kepada orang lain.

Jenis pertanyaan bermacam-macam, seperti Open-ended question atau closed question. Jenis pertanyaan akan menentukan apa jawaban yang kita butuhkan. Apakah itu klarifikasi, penjelasan atau informasi. Beberapa tips untuk mengajukan pertanyaan misalnya: jangan menyudutkan, tetap sopan sesuai konteks pembicaraannya, keep it simple, harus tetap obyektif, dan paling penting jangan nyelak dan buat caper (cari perhatian).

Sharing sedikit contoh praktisnya (sebelum tulisan ini jadi seperti tulisan buku petunjuk bertanya), saya pernah mengalami sendiri waktu masih bekerja sebagai profesional, sang owner—yang memang bukan orang Indonesia—mendadak mengumpulkan kami untuk memulai suatu projek yang kurang jelas tujuannya; membuat kartu ceki yang mereka lihat sewaktu berkunjung ke Bali. Mereka mau kartu ini punya unsur budaya Indonesia. Pertanyaan saya waktu meeting adalah: “Budaya Indonesia seperti apa yang Anda butuhkan”, “Apakah Anda tahu kalau ceki bukan budaya asli Indonesia?”, dan “Apakah Anda tahu, bermain kartu masih mempunyai konotasi negatif di Indonesia?”. Pertimbangan saya mempertanyakan hal tersebut adalah penjelasan dan klarifikasi, karena merasa tidak fair kalau asal memasukkan budaya Indonesia sebagai komoditas di kartu yang mungkin mereka sendiri tidak mengerti.

Akhirnya ide tersebut dibatalkan, karena sang owner jadi ragu dengan idenya sendiri, mungkin takut berimbas ke reputasi perusahaan. Padahal sih sebenarnya saya cuma bertanya sejelas-jelasnya. Keputusan mutlak tetap ada di owner selaku posisi tertinggi. Namun, mengajukan pertanyaan yang tepat, di saat yang tepat bisa menghasilkan keputusan yang lebih baik tanpa harus mengganggu wewenang yang bersangkutan. Notes: Kantor lama saya itu open culture, jadi cukup punya kebebasan berpendapat.

Lihat konteks juga yah, dengan siapa kita bertanya, temperamen orang yang kita tanya, dan setting lokasinya. Kalau bertanya dengan tipikal orang yang 1 arah dan kita bertanya tentang hal kritis, apalagi membuat orang itu gak nyaman, bisa jadi bumerang untuk kita, apalagi kalau ada agenda negosiasi. Perlu dialog juga ke diri sendiri, apa tujuan kita bertanya tentang sesuatu?

Pada akhirnya, saya percaya our questions in life will define us and the answers that we are seeking for. Di dunia yang sibuk berbicara, menjawab, dan menginterupsi, satu pertanyaan bisa mengubah segalanya.


English:

Too Shy to Ask, Get Lost on the Road

Lost, tired, but need to turn back and repeating once again.

The ones that make things worse are: lot of complains. Why don’t we learn to ask thoroughly from the beginning. The art of giving questions can actually be used in everything, including our world-view. Hence the wisest people in human history, those who dare to ask “Who am I?”, “Why am I in the world?”.

In terms of everyday matters, of course, there are also many things that can be done by asking questions. In the office, sales, business or maybe negotiations between big organisations. If we claim to be entrepreneurs who are about to start a project, the quality of our questions will also determine our curiosity, quality of results and also the customer’s satisfaction. Questions such as: “Why should we do strategies A, B, C”, “what do we want to achieve by working on this project?”, “Who can we help with these ideas and solutions?”.

Apart from talking and listening, asking questions is also another thing to consider, which sadly it is often forgotten. Especially in our local culture in Indonesia, that has a tendency to diminish them who dare to ask different kind of questions (it’s getting better though with the younger generations).

The title of this article comes from an old jargon in Indonesia: Too shy to ask, get lost on the road (malu bertanya, sesat di jalan). The old jargon, that us locals often hear, but practice forgotten at most times. In fact, it does not too uncommon, that many people do not know which and what questions to ask. Even if the questions being asked, the quality of the question can be questioned.

Asking is Important
When communicate in organizations, either as a professional or an entrepreneur. Asking questions can be the key solution, both when we are in the position of communicators or communicants. Asking, when we explain some subjects can be used to check and recheck whether the other person we are talking to understands the meaning of the conversation. Asking the right questions when we are the listeners proves that we understand and can respond to the content of the conversation. It’s a sign of respect.

The question is, how often do we ask the right questions, at the right time? Are we brave enough to question our own decisions, or are our decisions just a shortcut to quit all the problems that occur. We are busy looking for answers, without knowing what questions we need to ask—both to ourselves and to others.

There are various types of questions, such as open-ended or closed questions. These types of questions will determine what answer we need. Is it clarification, explanation or information? some tips for asking questions, for example: stay polite according to the context of the conversation, keep it simple and objective as much as we can, and most importantly don’t cut someone off or do it just to seek attention.

Sharing a few practical examples (before this writing looks like a questioning manual), I have experienced myself when I was still working as a professional. The owner —who is from UK— suddenly gathered us together in the meeting room to start a project which objectives were unclear; make the ceki card, that they saw during their visit to Bali. They want this card to have elements of Indonesian culture. My questions during the meeting were: “What kind of Indonesian culture do you need”, “Did you know that Ceki is not originally not an Indonesian culture?”, and “Did you know that playing cards still has a negative connotation in Indonesia?”. Why I question this is I was trying to use the function of proper asking to get explanations and clarification. I feel it is unfair to include Indonesian culture as a commodity on the cards, which they may not understand themselves.

Finally, the idea was canceled, because the owner doubted about his own idea, maybe he was afraid it would affect the company’s reputation. In fact, I was just asking properly. Of course the absolute decision is in the owner’s hand as the highest position within the organisation. However, asking the right questions at the right time can lead to better decisions without having to interfere with the authority concerned. Notes: My previous office was open in culture, so I guess I had enough freedom of opinion.

Look also at the context of situation may help too. With whom we asking questions, the temperament of the person we are asking, and the setting of the location. If you ask a typical one-way person and ask about critical things–let alone make that person feel uncomfortable–it could somehow backfired on us, especially if there’s a negotiation agenda. We need to prepare too with a conversation to ourselves: why should we ask about something? what are the pro-cons?

Finally, I believe our questions in life will define us and the answers that we are seeking for. In a world that is busy talking, answering, and interrupting, one right question can change everything.

Leave a comment